Senin, 01 April 2013

Teori Kognitif Menurut David Ausubel



PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari – hari manusia harus terus belajar, manusia itu bisa kita sebut peserta didik maka belajar hanya dialami oleh peserta didik  sendiri. Peserta didik adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat peserta didik mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh peserta didik berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar. Pengertian dari belajar sangat beragam, banyak dari para ahli yang mengartikan secara berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya belajar.
Sejak dahulu para ilmuwan terus mengembangkan teori-teori belajar sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran belajar mereka. Era globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya teori-teori belajar yang baru guna menyempurnakan teori–teori yang telah ada sebelumnya. Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan menyempurnakan teori-teori yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji dan diambil manfaat dengan adanya teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar juga terdapat kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut.

Pengertian Belajar Bermakna
Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1.    Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
2.    Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.

Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.

  Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1.    Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2.     Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3.     Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan  kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
4.    Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

  Prasyarat Belajar Bermakna
a.    Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan bahan yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika.
b.    Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c.    Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.

 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. 
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

Kondisi- Kondisi Belajar Bermakna
1.    Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama.
2.    Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.
3.    Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4.    Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna
 Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
 Kelemahan Belajar Bermakna :
1.        Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2.        Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.

Penerapan Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif peserta didik melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar peserta didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik.
Pada belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, peserta didik diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh peserta didik. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.
Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut. 
Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat. 
Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi (equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur.
Metode Ekspositori
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar, metode ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode ekspositori peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan sementara ahli teori belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode ekspositori yang baik merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a.       Belajar dengan menerima (reception learning), dan
b.      Belajar melalui penemuan (discovery learning)
Kalau materi yang disajikan kepada peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa rumus atau pola bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada belajar dengan penemuan, bentuk akhir yang berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri oleh peserta didik. Proses penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a.       Belajar dengan menghafal (rote learning), dan
b.      Belajar dengan pengertian (meaningful learning)
Belajar dengan  menerima dan belajar melalui penemuan kedua-duanya bisa menjadi belajar dengan menghafal atau belajar dengan pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema Phytagoras lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi belajar dengan pengertian. Juga, bila seorang peserta didik memperoleh teorema Phytagoras itu melalui penemuan dan kemudian rumusnya selalu dikaitkannya dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar dengan penemuan itu menjadi belajar dengan pengertian. Jika dua orang peserta didik belajar ; seorang belajar dengan menerima dan yang seorang lagi belajar dengan penemuan, tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal bentuk akhir itu sebagai aturan untuk melakukan pembagian dengan pecahan, maka belajar mereka akhirnya hanya belajar menghafal saja.

 Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Ini terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan (konklusi). Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis) yang dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan pendekatan deduktif dimulai dengan contoh-contoh yang dapat diberikan oleh guru atau dicari oleh murid. Karena itu, guru harus dapat memperkirakan pendekatan mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas. Ada baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu bertukar pendapat mengenai pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari pengalaman merupakan salah suatu sumber pengetahuan.

KESIMPULAN
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah peserta didik berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti.
Pendekatan Deduktif adalah pendekatan yang menggunakan penalaran deduktif dengan cara definisi diberikan terlebih dahulu, kemudian para siswa diajak untuk menerapakan teori-teori melalui contoh yang sesuai dengan materi yang diberikan sebelumnya oleh guru, atau dengan kata lain pendekatan yang menggunakan pola pikir logis untuk menarik suatu kesimpulan dari hal umum ke hal yang khusus.











DAFTAR PUSTAKA

Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta.


2 komentar:

  1. informasi yang disampaikannya bagus.. mantap.. ane sedot gan.. kalau bisa tampilannya jangan terlalu mencolok untuk backgroundnya soalnya menyulitkan ketika membaca isi dari blognya.. hehe.. saran sih

    BalasHapus