PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari – hari
manusia harus terus belajar, manusia itu bisa kita sebut peserta didik maka belajar hanya dialami oleh peserta didik sendiri. Peserta didik
adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar
terjadi berkat peserta didik mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan
sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh peserta didik berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar
yang nampak dari luar. Pengertian dari belajar sangat beragam, banyak dari para
ahli yang mengartikan secara berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana
kita ketahui bahwa belajar merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan.
Tentu saja dalam proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya
belajar.
Sejak dahulu para ilmuwan terus mengembangkan teori-teori belajar sebagai temuan mereka
untuk mengembangkan pemikiran belajar mereka. Era globalisasi telah membawa berbagai
perubahan yang memunculkan adanya teori-teori belajar yang baru guna
menyempurnakan teori–teori yang telah ada sebelumnya. Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan menyempurnakan teori-teori
yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji dan diambil manfaat dengan
adanya teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki keistimewaan
tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar juga terdapat
kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut.
Pengertian
Belajar Bermakna
Menurut David P. Ausubel, ada
dua jenis belajar :
1. Belajar
Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar
dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun
sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga
peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif
yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer
belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta,
konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami
sebelumnya oleh siswa.
2. Belajar
Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada
maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal
ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang
sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.
Dua Dimensi
Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut
Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada
peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua
menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan
informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka
terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan
atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang
terjadi adalah belajar bermakna.
Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1. Belajar
dengan penemuan yang bermakna
Informasi
yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu
kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang
dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur
sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat
persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur
sangkar tersebut.
2. Belajar
dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik,
kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur
sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan
segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan
alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3. Belajar
menerima yang bermakna
Informasi
yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu
dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari
akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan
diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep
persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih
inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat
dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar
menerima yang tidak bermakna
Dari setiap
tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta
didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa
memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
Prasyarat Belajar Bermakna
a. Kondisi dan
sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi
peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia
ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta
menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu
belajar bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu
tidak berkehendak mengaitkan bahan yang dipelajari dengan informasi yang
dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik
yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan
akhirnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas
yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif
peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru
secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian
kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat
peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c. Tugas-tugas
yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta
didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi
bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi
tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi
tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran
tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan
pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang
studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan
validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke
dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi.
Jika
struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih
dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi
sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak
teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
Kondisi-
Kondisi Belajar Bermakna
1. Menjelaskan
hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama.
2. Lebih dahulu
diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.
3. Menunjukkan
persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4. Mengusahakan
agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Kelebihan
dan Kelemahan Belajar Bermakna
Ada tiga
kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal
yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
Kelemahan Belajar Bermakna :
1. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2. Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah
diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Penerapan
Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif
peserta didik melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan
Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar peserta didik, terutama
mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta didik pada
tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak
waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan
penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori
belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau
bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat
menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur
kognisi peserta didik.
Pada belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi pada belajar
bermakna secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final,
sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, peserta didik diharapkan dapat
menemukan sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan.
Belajar bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu mengkaitkan materi
pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif
tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah
diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh peserta didik. Bruner memandang
manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.
Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika
seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan
misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat dirinya dapat
memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi.
Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk memenuhi apa yang
ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan memodifikasi
lingkungan untuk mencapai hal tersebut.
Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang
anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib
atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga
ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah
rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan
dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang
antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat.
Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme
psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek
untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan
bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran,
sedangkan akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman
yang baru. Pada sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau
asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan
oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk
tahapan tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi
(equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan
mengatur.
Metode
Ekspositori
Metode ekspositori sama
seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi
informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru
banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal
pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang
diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan.
Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti. Kalau
dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar, metode ceramah
lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode ekspositori
peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik
mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan
mengerjakannya bersama dengan temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di
Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori merupakan cara mengajar yang
paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan sementara ahli teori
belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode ekspositori yang
baik merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan
belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a.
Belajar dengan menerima (reception learning),
dan
b.
Belajar melalui penemuan (discovery learning)
Kalau materi yang disajikan
kepada peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa rumus atau pola
bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya
luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada belajar dengan penemuan,
bentuk akhir yang berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri
oleh peserta didik. Proses penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula
dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a.
Belajar dengan menghafal (rote learning), dan
b.
Belajar dengan pengertian (meaningful learning)
Belajar dengan menerima
dan belajar melalui penemuan kedua-duanya bisa menjadi belajar dengan menghafal
atau belajar dengan pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema Phytagoras
lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan
dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu
menjadi belajar dengan pengertian. Juga, bila seorang peserta didik memperoleh
teorema Phytagoras itu melalui penemuan dan kemudian rumusnya selalu
dikaitkannya dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring
segitiga siku-siku, maka belajar dengan penemuan itu menjadi belajar dengan
pengertian. Jika dua orang peserta didik belajar ; seorang belajar dengan
menerima dan yang seorang lagi belajar dengan penemuan, tetapi selanjutnya
mereka hanya menghafal bentuk akhir itu sebagai aturan untuk melakukan
pembagian dengan pecahan, maka belajar mereka akhirnya hanya belajar menghafal
saja.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan
cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut
silogisme. Ini terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan
(konklusi). Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis)
yang dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh
sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan
pendekatan deduktif dimulai dengan contoh-contoh yang dapat diberikan oleh guru
atau dicari oleh murid. Karena itu, guru harus dapat memperkirakan pendekatan
mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas.
Ada baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu bertukar pendapat mengenai
pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu
kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari pengalaman merupakan
salah suatu sumber pengetahuan.
KESIMPULAN
Menurut
Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning)
dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal
adalah peserta didik berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh
guru atau yang dibaca tanpa makna.
Metode
ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada
guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode
ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara.
Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada
waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan
membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti.
Pendekatan
Deduktif adalah pendekatan
yang menggunakan penalaran deduktif dengan cara definisi diberikan terlebih
dahulu, kemudian para siswa diajak untuk menerapakan teori-teori melalui contoh
yang sesuai dengan materi yang diberikan sebelumnya oleh guru, atau dengan kata
lain pendekatan yang menggunakan pola pikir logis untuk menarik suatu
kesimpulan dari hal umum ke hal yang khusus.
DAFTAR
PUSTAKA
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan
Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta.
informasi yang disampaikannya bagus.. mantap.. ane sedot gan.. kalau bisa tampilannya jangan terlalu mencolok untuk backgroundnya soalnya menyulitkan ketika membaca isi dari blognya.. hehe.. saran sih
BalasHapusTrims, artikel yang bagus
BalasHapus