PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Munculnya
teori humanistik merupakan tesa dan anti tesa terhadapa teori-teori belajar
sebelumnya, seperti teori psikoanalisis dan behaviorisme. Teori humanistik
mengungkapkan bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka
bebas memilih dalam memilih kualitas hidup mereka. tidak terikat oleh
lingkungannya. (Westy Sumanto, 2006: 137).
Teori
psikologi Humanistik memberikan keluasan yang sangat besar kepada pendidik dan
Anak didik dalam melakukan dialektika pembelajaran, sehingga terjalin
komunikasi dua arah yang saling memahami karakter dan konsern dari setiap
proses pembelajaran sehingga meransang siswa untuk “merdeka”.
Anak
dapat mengkostruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengelaman nyata dan
dirinya sendiri yang pada akhirnya anak mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai
jelmaan yang diinginkannya.
Adanya
kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar
lebih baik jika lingkungan diciftakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika
anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. pembelajaran yang
berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi
mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan
dalam kehidupan jangka panjang.
Banyak tokoh penganut aliran Humanistik, diantaranya adalah David Kolb yang
terkenal dengan “ Belajar Empat Tahap”
2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana teori
Humanistik menurut sudut pandang David A. Kolb?
3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk mengetahui teori Humanistik
menurut sudut pandang David A. Kolb.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Belajar Menurut Teori
Humanistik
Teori
belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati pada teori
kepribadian dan psikoterapi. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang
dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang
dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam
bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar
sebagaimana adanya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun
dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu untuk
mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang
belajar secara optimal.
Teori belajar humanistik menggunakan pendekatan motivasi yang menekankan
pada kebebasan personal, penentuan pilihan, determinasi diri, dan pertumbuhan
individu. Teori belajar humanistik berpandangan bahwa peristiwa belajar yang
ada saat ini lebih banyak ditekankan pada aspek kognitif semata, sementara
aspek afektif dan psikomotor menjadi terabaikan. Padahal setiap anak merupakan
individu yang unik, memiliki perasaan dan gagasan orisinil. Tugas pendidik
adalah membantu individu agar berkembang secara sehat dan sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. (Benny A. Pribadi, 2009: 79-80).
Secara
singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan
positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal
ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri
yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar
ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya. Para pendidik hanya membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Banyak
tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah David A. Kolb yang terkenal dengan “Belajar
Empat Tahap”.
2.
Biografi David A.Kolb
David A. Kolb lahir pada tahun 1939. dan ia
dibesarkan di kota New York.
Ia
memperoleh gelar sarjana pada tahun 1961 dari Knox College. Dia
kemudian melanjutkan untuk mendapatkan gelar Ph.D. dalam psikologi sosial dari
Universitas Harvard. Hari ini, dia adalah Profesor Perilaku Organisasi
dalam Weatherhead School of Management di Case Western Reserve University.
Kolb
telah menulis beberapa artikel dan buku yang telah diterbitkan. diantaranyan:
2. Postmodern Sophistications:
Philosophy, Architecture, and Tradition, 1990
3. New Perspectives on Hegel's
Philosophy of Religion, 1992
4. Socrates in the Labyrinth:
Hypertext, Argument, Philosophy, 1994
5. Sprawling Places, 2008
6. "On the Objective and
Subjective Grounding of Knowledge", translation, with introduction and
notes, of an essay by the Neo-Kantian Paul Natorp, in the Journal of the
British Society for Phenomenology, 1981.
7. "Language and Metalanguage in
Aquinas", in the Journal of Religion, 1981, "Socrates and
Stories", in Spring, 1981.
8. "Sellars on the Measure of All
Things", in Philosophical Studies, 1979.
9. "Ontological Priorities: A
Critique of the Announced Goals of Descriptive Metaphysics", in
Metaphilosophy, 1975.
10. "Time and the Timeless in Greek
Thought", in Philosophy East-West, 1974.
3. Teori Belajar Menurut David A. Kolb
David Kolb adalah
seorang filosof yang beraliran HUMANISTIK. Dimana aliran ini lebih melihat
pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan yang bersifat positif ini yang
disebut sebagai potensi manusia. Dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan
positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat pada
domain afektif.
David A. Kolb adalah
seorang psikolog Amerika dan teori pendidikan. Ia paling dikenal karena
penelitian gaya belajar dan belajar pengalaman. Menurut Kolb, experiential learning adalah suatu
proses dimana pengetahuan hasil dari kombinasi yang berbeda dari menangkap dan
mentransformasikan pengalaman. Kita dapat memahami pengalaman dengan dua cara yang berbeda, melalui pengalaman konkret dan
konsep abstrak. Kita kemudian
dapat mengubah pengalaman dalam dua cara, melalui pengamatan reflektif atau
percobaan aktif.
Gaya belajar model David A. Kolb terimplisit dalam resource
based learning (belajar berdasarkan sumber) yang mengajak siswa
melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kold (dalam
Nasution 2005:111), “Gaya belajar model Kolb ialah gaya belajar yang melibatkan
pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep,
dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah”.
Bagan. Gaya Belajar David A.Kolb
David
Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang terlihat diatas, (a-b) kecenderungan
seseorang dalam proses belajar, kutub-kutub tersebut yang dikutip dari
(http//www.pdf reaserch.com). Antara lain:
a. Kutub Perasaan/FEELING (Concrete
Experience)
Anak belajar melalui perasaan, dengan
menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi dengan
sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses belajar, anak cenderung lebih terbuka dan
mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya.
b.
Kutub Pemikiran/THINKING (Abstract Conceptualization)
Anak belajar melalui pemikiran dan lebih
terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis, dan
pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses
belajar, anak akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan
teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
c.
Kutub Pengamatan/WATCHING (Reflective Observation)
Anak belajar melalui pengamatan, penekanannya
mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan
selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Dalam proses belajar, anak
akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat.
d.
Kutub Tindakan/DOING (Active Experimentation)
Anak belajar melalui tindakan, cenderung kuat
dalam segi kemampuan melaksanakan tugas,berani mengambil resiko, dan
mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, anak akan
menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada
orang lain, dan prestasinya.
Menurut
Kolb, tidak ada individu yang gaya belajarnya secara mutlak didominasi oleh
salah satu saja dari kutub tadi. Yang biasanya terjadi adalah kombinasi dari
dua kutub dan membentuk satu kecenderungan atau orientasi belajar. Empat kutub
di atas membentuk empat kombinasi gaya belajar. Pada model di atas, empat
kombinasi gaya belajar diwakili oleh angka I hingga IV, dengan penjelasan seperti di bawah
ini:
1.
Gaya Diverger
Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling
and watching). Anak dengan tipe Diverger unggul dalam melihat situasi
kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap
situasi adalah "mengamati" dan bukan "bertindak". Anak
seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide
(brainstorming), biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan
berbagai informasi.
2. Gaya Assimillator
Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking
and watching). Anak dengan tipe Assimilator memiliki kelebihan dalam
memahami berbagai sajian informasi serta merangkumkannya dalam suatu format
yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian pada
orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak, mereka juga
cenderung lebih teoritis.
3.
Gaya Converger
Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking
and doing). Anak dengan tipe Converger unggul dalam menemukan fungsi
praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik
dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih
menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan
antar pribadi.
4. Gaya Accomodator
Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling
and doing). Anak dengan tipe Accommodator memiliki kemampuan belajar yang
baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan
melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka
cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada
berdasarkan analisa logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya
mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding
analisa teknis.
Menyimak
berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita tetap sensitif
terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau sama sekali
berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan itu dapat
menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam interaksi,
komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami sebagai
kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus berusaha
membantu mereka memahami "Style of Learning"nya, dengan tujuan
meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi yang lemah dari
padanya.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu
sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang
hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama
proses belajar. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi
aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan
reflektif. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori”
tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan
sudah mampu untuk membut aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh
kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan
yang sama. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan
suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa
tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai
rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum ia temui
sebelumnya. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Menurut
David A. Kolb, siklus belajar semacam itu
terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan
kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap
satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke
tahap lainnya itu seringkali begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
(Hamzah B. Uno, 2008:15). Dari teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn
bahwa anak dapat melakukan proses pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada
dihadapannya dapat diserap dengan baik, bila teks dan konteks yang disodorkan
semakin konkrit. Anak-anak masih sulit memahami teks maupun konteks secara
abstrak, walaupun secara bertahap mereka mulai dapat memahmi hal-hal yang
abstrak dan membuat konsep-konsep sederhana.
Karakteristik Gaya Belajar
Styles
of Learning Kolb
ini akan menjadi lebih sempurna bila dikaitkan dengan karakteristik gaya dan
cara belajar siswa yang dikenal dengan tipe, Visual, auditory, dan kinestetik.
Manusia
visual menerima dan memproses informasi dengan cara melihat dan menciftakan
gambaran mentalnya. Secara khas, orang visual akan menggunakan kata-kata
seperti ‘tunjukkan kepada saya’,’kelihatannya’, atau ‘perhatikan
ini’. jika merasa bingung, mungkin ia berkata ‘saya hanya tak bisa
melihatnya’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Manusia
auditory menerima dan memproses informasi dengan mendengarkan kata-kata atau
suara-suara. Orang auditory cenderung menggunakan kata-kata seperti ‘ceritakan
pada saya’, ‘kedengarannya seperti…’, ‘saya ingin mendengarkan lagi’’. Jika
sedang bingung, biasanya cepat berkata ‘kedengarannya tidak betul’, dan ‘saya
tidak bisa mendengar anda’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Manusia
kinestetik menerima dan memproses informasi melalui perasaan dan sensasi.
Biasanya cepat berkata ‘rasanya seperti…’, ‘bagi saya rasanya enak’, ‘saya
merasa anda ingin supaya saya…’. Jika bingung, mungkin akan berkata ‘ada yang
terasa tidak benar’, ‘saya tidak bisa merasakannya’. (Amir Tengku Ramly, 2008:
41).
Bila
guru merasa kesulitan dalam mengajar, mengapa siswanya tidak mau memperhatikan
materi yang disampaikan, boleh jadi karena gaya dan cara belajar antara guru
dan siswa berbeda. Saat menggunakan teknik bercerita dan diskusi, anak yang
memiliki cara dan gaya belajar auditory, maka ia dengan mudah menangkap materi
yang diajarkan, sementara anak yang cara dan gaya belajarnya visual tampak acuh
dan anak yang cara dan gaya belajarnya kinestetik menguap karena bosan. Saat
menggunakan alat peraga gambar, ganti anak auditory yang kurang semangat
sementara anak visual dengan antusias mengikuti, sedang anak kinestetik tampak
biasa-biasa saja. Namun, saat guru mengajak mereka mengerjakan prakarya, anak
kinestetik begitu bersemangat, sementara auditory dan visual ogah-ogahan
mengikuti materi yang disampaikan oleh gurunya.
PENUTUP
Kesimpulan
Teori
Humanistik telah memberikan cara belajar yang lebih bermakna, sehingga dalam
proses belajar dan mengajar ada peran dan peranan yang harus dijalani dengan
baik sesuai dengan asas humanisasi.
Gaya pembelajaran Kolb merupakan salah satu model gaya pembelajaran melalui
pengalaman yang menekankan pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman sendiri. Kolb sebagai salah satu yang
termasuk dalam teori psikologi humanistik memberikan sumbangan dalam proses
pembelajaran, yang ia tulis dalam keempat proses pembelajaran Kolb (Styles
of Learning Inventory). Yang terbagi dalam empat kutub. Pengalaman
kongkrit, Pengamatan aktif dan reflektif, konseptualisasi, serta
eksperimentasi aktif. Yang keempatnya itu dapat muncul tanpa disadari. Dari
keempat kutub ini memunculkan kembali pertemuan antar kutub, yang ia kembangkan
dengan istilah Gaya Diverger kombinasi dari perasaan dan
pengamatan (feeling and watching), Gaya Assimillator kombinasi dari berpikir dan
mengamati (thinking and watching), Gaya Converger kombinasi
dari berfikir dan berbuat (thinking and doing) dan Gaya Accomodator kombinasi
dari perasaan dan tindakan (feeling and doing).
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Nashir. 1987. Jalan
Memintas dalam Mendidik. Jakarta: Balai Pustaka.
Asri Budiningsih, 2002. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta .PT Rineka Cipta.
Nasution, S., 2009. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pribadi,
Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian
Karya.
Ramly,
Amir Tengku. 2008. Pumping Talent Memahami Diri, Memompa Bakat. Bandung:
Pumping Publisher.
Ramly, Amir Tengku. 2008. Menjadi Guru Idola.
Bogor: Pumping Publisher.
Sadulloh, Uyo. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Slavin,
R.E., 1991. Educational Psychology. Third edition. New York :
Allyn & Bacon.
Suhartono,
Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan
Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Soemanto,
Westy. 2006., Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Uno,
Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pengajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
http//www. pdf reaserch.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar