PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Difusi inovasi merupakan langkah cerdas pemanfaatan jaringan sosial di
masyarakat untuk selanjutnya terjadi adopsi inovasi sebagaimana yang
dikehendaki oleh inovator. Inovasi dan perubahan merupakan dua kata yang tak
terpisahkan. Dalam setiap inovasi terjadi perubahan, namun tidak semua
perubahan disebut inovasi.Rogers (1983 : 11) menjelaskan, inovasi adalah suatu
gagasan, praktek, atau objek benda yang dipandang baru oleh seseorang atau
kelompok adopter lain. Kata "baru" bersifat sangat relatif, bisa karena
seseorang baru mengetahui, atau bisa juga karena baru mau menerima meskipun
sudah lama tahu. Indonesia mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep
pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini
menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang
membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter
dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning, dan sebagaimya.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar
menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses
pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan
adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya
Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual,
alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan
alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Suatu inovasi akan melahirkan konsekuensi. Dalam dunia
pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena tanpa inovasi akan
terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian berimbas pada pada
elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, sosial dan
lain-lain.
Sistem sosial terlibat secara langsung dalam proses keputusan inovasi kolektif, otoritas dan kontingen dan mungkin
tidak secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi. Pada makalah ini akan
membahas pengaruh sistem sosial dalam proses difusi, yaitu konsekuensi inovasi.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan dalam konsekuensi inovasi pendidikan sebagai berikut:
a) Pengertian konsekuensi inovasi
b) Klasifikasi konsekuensi
c) Struktur sosial dan konsekuensi
penyetaraan
d) Konsekuensi inovasi dalam bidang
pendidikan
3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah:
a)
untuk
mengetahui pengertian konsekuensi inovasi.
b)
untuk
mengetahui penjelasan tentang klasifikasi konsekuensi.
c)
untuk
memberian penjelasan mengenai struktur sosial dan konsekuensi penetaraan.
d)
Untuk
mengetahui konsekuensi inovasi dalam pendidikan.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Konsekuensi Inovasi
Dalam
kamus Bahasa Indonesia konsekuensi berarti akibat (dari suatu perbuatan atau
dari pendirian). Dan dalam bahasa Inggris consequence
(konsekuensi) berati the effect,
result, or outcome of something occurring earlier (efek, hasil, atau hasil
dari sesuatu yang terjadi sebelumnya).
Sedangkan
menurut Rogers (dalam Diffusion of innovations) Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada
individu atau suatu sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan
terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari pengadopsian sebuah inovasi yaitu
berupa invensi (pembaharuan) dan difusi (perubahan) yang menjadi tujuan yang
ingin dicapai.
Meskipun
pentingnya mempertimbangkan sebuah konsekuensi atau akibat dari sebuah inovasi,
namun sedikit studi yang dilakukan oleh para peneliti difusi. Kurangnya
perhatian dan data mengenai konsekuensi menyulitkan kita untuk
mengeneralisasikan mengenai konsekuensi suatu inovasi. Kita dapat menguraikan
berbagai konsekuensi dan menentukan katagori-katagori untuk mengklasifikasikan
berbagai konsekuensi, namun tidak dapat diprediksi kapan dan bagaimana
konsekuensi tersebut akan terjadi.
Tidak hanya para
peneliti yang telah memberikan begitu sedikit perhatiannya mengenai
konsekuensi, agen perubahanpun juga sama. Mereka seringkali berasumsi bahwa
adopsi dari suatu inovasi yang diterapkan akan menghasilkan keuntungan semata
bagi para adopter yang mengadopsinya. Asumsi tersebut merupakan sebuah bias pro-inovasi.
Para agen perubahan akan menguraikan responsibilitasnya terhadap berbagai
konsekuensi dari sebuah inovasi yang mereka kenalkan. Mereka harus dapat
memprediksikan keuntungan dan kerugian suatu inovasi sebelum memperkenalkan
sebuah inovasi pada klien-kliennya, namun hal tersebut jarang dilakukan oleh
para agen.
2. Klasifikasi
Konsekuensi Inovasi
Ditinjau
dari hasil inovasi yang diperoleh atau yang tampak dalam sistem sosial,
konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Konsekuensi
diharapkan dan tidak diharapkan
Konsekuensi yang diharapkan adalah suatu inovasi yang
mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu atau sistem
sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu dampak yang
timbul padahal hal tersebut tidak dikehendaki. Konsekuensi fungsional adalah
akibat-akibat dari penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial yang
sesuai dengan keinginan dari pengadopsi. Akibat tersebut memiliki konotasi yang
positif. Sebaliknya konsekuensi disfungsional adalah akibat-akibat dari
pengadopsian inovasi yang tidak diinginkan oleh pengadopsi. Penentuan apakah
suatu konsekuensi itu fungsional atau disfungsional, tergantung bagaimana
inovasi tersebut mempengaruhi pengadopsi, kemudian waktu dimana ada saat tertentu
mungkin belum dirasakan akibatnya yang posifitif, tapi mungkin nanti akan
dirasakan setelah beberapa waktu.
Pada kenyataannya, banyak inovasi memberikan
konsekuensi yang positif dan negatif, hal ini diakibatkan kekeliruan yang
menganggap bahwa dampak yang diharapkan dapat dicapai tanpa mempertimbangkan
akibat-akibat yang tidak diharapkan. Namun asumsi tersebut seringkali secara
tidak disadari terjadi. Kesimpulan kita, bagaimanapun juga, hal ini umumnya
sulit atau mungkin mengatur pengaruh sebuah inovasi untuk memisahkan innovasi
yang diinginkan dari berbagai konsekuensi atau akibat yang tidak diinginkan.
b.
Konsekuensi
langsung dan tidak langsung
Konsekuensi langsung adalah suatu inovasi mempunyai
pengaruh yang segera terhadap individu atau suatu sistem sosial, sedangkan
konsekuensi tidak langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh yang tidak
segera.Konsekuensi langsung suatu inovasi menghasilkan perubahan-perubahan
sistem sosial yang terjadi sebagai respon segera
penyebaran suatu inovasi.
Konsekuensi tidak langsung adalah perubahan-perubahan
dalam sistem sosial yang terjadi sebagai hasil konsekuensi langsung suatu
inovasi yang masih memerlukan upaya tambahan dan prosesnya masih memerlukan
waktu yang lebih lama.
Konsekuensi langsung sebuah inovasi merupakan
perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi secara langsung dari
sebuah inovasi. Sedangan konsekuensi atau akibat tidak langsung merupakan
perubahan pada individu atau sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari
konsekuensi langsung suatu inovasi.
c.
Konsekuensi
diantisipasi dan tidak diantisipasi
Konsekuensi yang diantisipasi adalah konsekuensi yang
telah diperkirakan sebelumnya, sedangkan konsekuensi yang tidak
diantisipasi adalah dampak ikutan yang muncul kemudian setelah adopsi atau
menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif,
bisa pula bersifat negatif. Konsekuensi ini juga disebut sebagai konsekuensi
yang nampak dan yang latent.
Konsekuensi yang nampak adalah perubahan-perubahan
yang terlihat dan dikehendaki oleh anggota sistem sosial yang mengadopsi suatu
inovasi. Contoh yang tanpak dari suatu pengadopsian suatu inovasi misalnya :
adanya pengembangan keterampilan kerja baru bagi orang yang
menerapkan penggunaan gergaji mesin untuk memotong kayu.
Sedangkan konsekuensi yang latent adalah perubahan-perubahan yang tidak tampak
dan tidak dikehendaki oleh anggota suatu sistem sosial. Semakin maju dan modern
suatu inovasi, akan semakin banyak pula menghasilkan konsekuensi baik
konsekuensi yang nampak maupun yang tidak tampak.
Konsekuensi yang terantisipasi merupakan perubahan
yang berkenaan dengan inovasi yang diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh
para anggota sistem sosial. Konsekuensi yang tidak terantisipasi merupakan
perubahan dari sebuah inovasi yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud
oleh para anggota sistem sosial.
Bentuk,
Fungsi dan Arti suatu Inovasi
Berbagai
konsekuensi inovasi yang diharapkan, langsung, dan diantisipasi pada umumnya
terjadi secara bersamaan, dengan konsekuensi atau akibat yang tidak harapkan, tidak
langsung, dan tidak diantisipasi. Kami menunjukan sebuah ilustrasi dari
generalisasi tersebut dalam memperkenalkan kapak baja atau alat pemotong dari
baja pada warga masyarakat Yir Yoront di Australia, yang membawa banyak
konsekuensi yang diharapkan, tidak langsung, dan tidak terantisipasi, termasuk
rincian struktur keluarga, kemunculan prostitusi, dan “penyalahgunaan” innovasi
itu sendiri.
Rogers
dalam Ibrahim (1988), mengemukakan bahwa kesalahan yang biasa dilakukan oleh
agen pembaharu ialah mereka hanya dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi dari
suatu inovasi, tetapi tidak dapat mengantisipasi arti inovasi bagi sasaran
penerima inovasi. Kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga intrinsik
elemen inovasi :
o
Bentuk
dari inovasi, ialah wujud perubahan yang tampak (dapat diamati) sebagai
perwujudan dari substansi inovasi. Misalnya Missionaris dan juga masyarakat Yir
Yoront tahu betuk bentuk benda yang baru dikenalkan yaitu kapak dari baja,
mungkin karena kebetulan bentuknya hampir sama dengan kapak batu yang telah
dikenal
o
Fungsi
dari inovasi, ialah sumbangan atau manfaat dari inovasi bagi kehidupan. Atau kontribusi
yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup para anggota sistem sosial.
Misalnya suku Yir Yoront akan segera tahu bahwa kapak baja gunanya sebagai alat
pemotong, yang digunakan dalam pelaksanaan tugas sehari – hari dalam
kehidupannya sebagaimana guna dari kapak batu.
o
Arti atau
makna dari inovasi, ialah persepsi inovasi yang subjektif dan tidak disadari
oleh penerima inovasi (anggota sistem sosial). Para agen perubahan lebih mudah
dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi untuk para kliennya dari
pada arti atau makna. Misalnya suatu penerimaan kebudayaan akan timbul makna
baru dan mungkin hanya memiliki sedikit kaitan dengan elemen yang sama dengan
kebudayaan aslinya.
Mencapai (Equilibrium)Keseimbangan
Dinamis
Terkait dengan keseimbangan suatu sistem sosial ketika inovasi akan dan
sudah diadopsi dapat diklasifikasikan tiga jenis ekuilibrium:
a.
Stable
equilibrium(keseimbangan yang
stabil) , yakni ketika
hampir sama sekali tidak ada perubahan dalam struktur atau fungsi suatu sistem
sosial. Dalam hal ini, keseimbangan struktural maupun fungsional ketika inovasi
diadopsi hampir sama dengan sebelum diadopsi. Ekuilibrium ini umpamanya
ditemukan ketika inovasi dilakukan dengan sangat lambat, dengan tingkat massiveness yang
rendah atau tidak terjadi sama sekali.
b.
Dynamic
equilibrium(keseimbangan dinamis) , yakni ketika kecepatan atau kadar difusi dan adopsi inovasi melahirkan
perubahan yang seimbang secara struktural dan fungsional atau seiring dengan
kemampuan suatu sistem sosial untuk beradaptasi. Ekuilibrium dinamis ini, oleh
karena itu, merupakan hal yang menjadi patokan bagi change agents dalam
melakukan difusi inovasi.
c.
Disequilibrium(ketidakseimbangan), bahwa inovasi menyebabkan perubahan yang terlalu
cepat sehingga sistem sosial tidak mampu menyesuaikan diri baik secara struktural
maupun fungsional (beradaptasi). Dalam hal ini, inovasi bisa melahirkan
disorganisasi sosial dan pada gilirannya lebih menyulitkan terjadinya perubahan
sosial.
Sebagai
paradigma pembangunan yang dominan yang mulai dipertanyakan pada awal 1970 an,
dan berbagai macam alternatif paradigma pembangunan tersebut diungkapkan,
pentingnya keseimbangan sebagaimana pentingnya konsekuensi dari berbagai
aktivitas difusi mulai direalisasikan. Pertama tujuan dari program difusi
adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam sebuah sistem; namun yang kedua
dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi yang baik diantara para
anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang seimbang. Berbagai
konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperluas kesenjangan
sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan lamban mengadosi berbagai
katagori dalam suatu sistem. Selanjutnya, berbagai konsekuensi dari
pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara
orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang tinggi dan orang
yang status sosial ekonominy rendah.
Struktur
sistem sosial secara terpisah menentukan seimbang versus tidak seimbang dari
sebuah konsekuensi inovasi. Ketika sebuah struktur sistem dalam keadaan yang
begitu tidak seimbang, konsekuensi dari suatu inovasi (terutama jika inovasi
tersebut berkenaan dengan biaya yang tinggi) akan membawa keadaan yang sangat
tidak seimbang dalam bentuk kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi apakah yang
dapat dipakai untuk memperkecil kesenjangan ? jawabannya tergantung pada tiga
alasan utama mengapa kesenjangan sosial ekonomi meluas sebagai konsekuensi dari
inovasi : (1) “yang di atas” memiliki akses informasi yang lebih banyak untuk
menciptakan kesadaran mengenai inovasi; (2) mereka memiliki akses informasi
yang lebih banyak mengenai evalasi inovasi dari teman sejawat; dan (3) “yang di
atas” memiliki kurang lebih sumber daya untuk mengadopsi inovasi dari pada yang
“di bawah.”
Ketika upaya-upaya yang
khusus diciptakan oleh seorang agen difusi, hal tersebut mungkin untuk
memperkecil, atau paling sedikit tidak memperluas, kesenjangan sosial ekonomi
dalam sistem sosial. Dengan kata lain, berbagai kesenjangan yang melebar tidak
terjadi.Satu peranan penting untuk penelitian difusi dimasa mendatang adalah
mengungkapkan berbagai strategi yang lebih efektif untuk menciptakan
keseimbangan diantara para anggota sistem sosial. Hal ini baru, sulit dan
peranan yang menjanjikan untuk orang-orang yang mempelajari difusi.
3.
Kesetaraan dalam Konsekuensi Inovasi
Umumnya
salah satu cara yang dilakukan oleh agen perubahan dalam membentuk konsekuensi
inovasi adalah dengan saling bekerjasama. Jika agen perubahan menghubungi orang
yang lebih miskin dan berpendidikan rendah di masyarakat dari pada orang kaya,
tentunya suatu inovasi akan lebih berarti/bermakna. Namun terkadang, biasanya
agen perubahan lebih banyak menghubungi orang yang berpendidikan, memiliki
status sosial yang tinggi di masyarakat, dengan demikian hal tersebut cenderung
untuk memperluas kesenjangan sosial ekonomi melalui inovasi-inovasi yang mereka
memperkenalkan.
Difusi
dan inovasi secara umum menyebabkan dalamnya tingkat kesenjangan
sosial ekonomi di masyarakat. Meningkatnya ketidaksetaraan dalam konsekuensi
inovasi disebabkan karena :
a.
Inovator
dan pengadopsi awal memiliki sikap yang menguntungkan terhadap ide-ide baru dan
mereka lebih cenderung mencari inovasi-inovasi secara aktif. Mereka juga
memiliki sumber daya yang tersedia untuk menerapkan inovasi biaya yang lebih tinggi,
sedangkan pengadopsi yang lain tidak.
b.
Agen-agen
pembaharu professional cenderung memusatkan perhatian mereka pada kontak-kontak
klien mereka pada innovator dan adopter awal dengan harapan bahwa pemimpin
opini diantara katagori yang mengadopsi akan menyampaikan gagasan baru yang
telah mereka ketahui kepada para pengikut mereka dengan proses yang merambat
kebawah.
c.
Dengan
mengadopsi inovasi relatif lebih awal daripada orang lain dalam sistem sosial,
inovator dan pengadopsi awal memperoleh keuntungan, sehingga memperluas
kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sebelum mengadopsi. Jadi pengadopsi
awal menjadi semakin kaya, bila dibandingkan dengan adaptor yang lainya.
Komunikasi Mempengaruhi Kesenjangan Sosial
Pengaruh yang timbul
dengan adanya aktivitas komunikasi secara umum merubah pengetahuan, sikap atau
perilaku seseorang. Komunikasi telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar
terhadap individu lainnya.
Strategi untuk Memperkecil Kesenjangan
Adapun
strategi yang dapat disusun berdasarkan alasan pokok tentang mengapa besarnya
kesenjangan sosial ekonomi akibat dari pengadopsian suatu inovasi diantaranya
adalah :
1.
“Kalangan
Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh informasi yang
menumbuhkan kesadaran tentang inovasi daripada “Kalangan Bawah”
a)
Pesan-pesan
yang berlebihan atau yang kurang menarik dan/atau kurang menguntungkan bagi
audiens yang lebih tinggi sosial ekonominya, tetapi cocok dan menarik bagi
audiens yang lebih rendah sosial ekonominya, dapat disediakan. Strategi ini
memungkinkan audiens yang lebih rendah sosial ekonominya untuk menyusul.
Strategi ini dipakai dan berhasil dalam memperkecil kesenjangan sosialekonomi
di India melalui program TV bagi orang-orang desa.
b)
Seseorang
dapat menyesuaikan pesan-pesan komunikasi terutama bagi audiens yang lebih
rendah sosioekonominya dalam arti ciri-ciri yang khas, seperti pendidikan,
kepercayaan, kebiasaan komunikasi dan sejenisnya. Bahan-bahan komunikasi sering
tidak didesain secara khusus bagi derajat kalangan ini, dan oleh karena itu sering
kurang efektif. Sungguhpun isi pokok dari pesan ini mungkin sama seperti bagi
“Kalangan Atas”, untuk dapat lebih efektif dalam mencapai audiens yang lebih
rendah sosioekonomiknya maka desain pesan, perlakuan dan presentasinya mungkin
perlu berbeda; misalnya lebih banyak garis yang digambarkan, fotografi dan alat
bantu visual yang lain yang mungki diperlukan disebabkan rendahnya pendidikan
formal “Kalangan Bawah”.
c)
Seseorang
dapat memgunakan saluran-saluran komunikasi yang secara khusus dapat
menyelusuri “Kalangan Bawah” sehingga akses bukanlah halangan untuk memperoleh
kesadaran pengetahuan akan inovasi. Misal; di Negara yang sedang berkembang
persentase “Kalangan Bawah” yang tidak dapat membaca, maka media cetak tidak
bermanfaat. “Kalangan Bawah” kemingkinan besar mengikuti siaran radio daripada
menonton TV. Selain itu komunikasi tradisional dapat dilakukan seperti melalui
pagelaran wayang, opera rakyat, bidan-bidan tradisional dan tempat berkumpul
seperti pasar, tempat ibadah, warung dan kedai. Media komunikasi yang dapat
dipercaya dan dapat diterima secara cultural khususnya sangat cocok bagi
audiens yang lebih rendah tingkat sosioekonomiknya dibanyak Negara ( Rogers,1983
).
d)
“Kalangan
Bawah” dapat diorganisir dalam kelompok kecil dimana mereka dapat balajar
tentang inovasi dan mendiskusikan ide baru. Seperti perkumpulan wanita di
Korea, sekolah radiofonik di Amarika Latin, dan koperasi.
e)
Konsentrasi
kontak para agen pembaharu dapat dipisahkan dari inovator dan adopter awal,
yang juga telah dilakukan sebelumya terhadap mayoritas kemudian dan yang paling
terlambat.
2.
“Kalangan
Atas” memiliki kesempatan yang lebih besar bagi
informasi inovasi-evaluasi dari teman-teman dibandingkan dengan
“Kalangan Bawah”
Jika teori “trickle-down” ( menetes kebawah )
beroperasi secara pasti, maka “Kalangan Bawah” akan segara cepat belajar dari
“Kalangan Atas” dalam mengadopsi inovasi dan secara cepat mengikutinya. Tetapi
realitas dari jaringan komunikasi dalam banyak system adalah bahwa “Kalangan
Atas” berbicara dengan “Kalangan Atas” dan “Kalangan Bawah” dengan “Kalangan
Bawah” ( Rolling dkk,1976 ). Bagaimana cara mengatasi masalah ini ?
a)
Pendapat
pemuka di kalangan kelompok yang kurang beruntung dari suatu system dapat
diidentifikasikan dan kontak agen pembaharu dapat dipusatkan pada mereka, jadi
dapat mengingatkan teman-teman dalam hal inovasi.
b)
Pembantu-pembantu
agen pembaharu yang dipilih dari "Kalangan Bawah” dapat dipakai untuk
menghubungi teman-teman yang homofili tentang inovasi
c)
Kelompok-kelompok
formal diantara “Kalangan Bawah” dapat diorganisir dengan memperlengkapi dengan
kepemimpinan dan penguatan sosial dalam pengambilan keputusan inovasi mereka.
Kelompok itu memberikan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang lebih besar.
3.
“Kalangan
Atas” memiliki “slack resources” untuk mengadopsi inovasi dari pada “Kalangan
Bawah”
“Kalangan Atas” selalu dapat mngadopsi inovasi,
terutama jika ide baru itu mahal, secara teknologis kompleks, dan jika mereka
memberikan derajat ekonomi. Strategi apa yang dapat membantu mengatasi tendensi
pelebaran kesenjangan ini ?
a)
Prioritas
dapat diberikan bagi pengembangan dan perekomendasian inovasi yang sesuai bagi
“Kalangan Bawah” agar teknologi yang cocok dapat diperoleh.
b)
Suatu
organisasi dapat diadakan pada tingkat local agar “Kalangan Bawah” dapat memperoleh
persamaan dengan “Kalangan Atas” dalam memiliki “Slack Resources” yang
diperlukan untuk mengadopsi inovasi tertentu yang mahal.
c)
Suatu
sarana harus diadakan agar supaya “Kalangan Bawah” dapat berpartisipasi dalam
perencanaan dan pelaksanaan program difusi, termasuk menyusun program. Strategi
partisipasi ini dapat menjadikan kebutuhan dan masalah diketahui oleh para
pengurus dalam suatu lembaga pembaharuan.
d)
Lembaga-lembaga
pembaharu tertentu dapat dimantapkan untuk bekerja hanya dengan “Kalangan Bawah”
dengan demikian memungkinkan agen pembaharu menemukan kebutuhan tertentu dari
“Kalangan Bawah” (kredit pertanian).
e)
Tekanan
harus digeser dari mendifusikan inovasi yang berasal dari Litbang Formal ke
informasi yang menyebar tentang ide berdasarkan pengalaman melalui system
difusi yang lebih didesentralisasikan.
3. Konsekuensi
Inovasi dalam Bidang Pendidikan
Penerapan
inovasi dan teknologi pendidikan di Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam
bentuk sistem pendidikan, inovasi dan teknologi pada tataran ini menjangkau
area kebijakan penyelenggaraan proses pendidikan. Contoh dari
pemanfaatan inovasi dan teknologi pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif
(CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di
sekolah. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan secara massal karena
mengarah pada sistem.
Selain
itu di Indonesia juga mulai menerapkan Inovasi dan teknologi pada konsep
pendidikan dan konsep belajar. Inovasi dan teknologi pada tataran ini
menjangkau area konseptual pendidikan, misalnya konsep pendidikan yang
membebaskan yang diungkapkan oleh Paul Freire, konsep Quantum Learning (Potter
dan Hernacki, 2001), Accelerated Learning.
Penerapan
inovasi dan teknologi pada media belajar dan mengajar menjangkau area yang
lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan proses pendidikan berupa
proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang dilakukan adalah elaborasi
hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah, misalnya Computer Assisted
Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio visual, alat-alat permainan
edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta pengadaan alat-alat
laboratorium yang berkualitas.
Salah
satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan adalah pemanfaatan sarana
teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Ketika segelintir sekolah sudah
masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan inovasi teknologi, sebagian
besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh dari akses teknologi
informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih amat minim bahkan
tidak ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan atau keberanian untuk
menggunakan teknologi komputer dan internet. Tentu saja kesenjangan dalam
aksebilitas antara siswa-siswa dari sekolah mampu dengan siswa-siswa dari
sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan yang tidak seimbang antara
anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan pemerataan
merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan perencanaan
anggaran pendidikan.
Implikasi
lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal,
dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak
situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak
dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas.
Proses pembelajaran di dunia maya – yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir
sekolah – tidak mengenal batasan formal dan nonformal. Beberapa situs
menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya,
ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan bisa
diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak.
Padahal tidak banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi
cukup baik atau tidak punya cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi
pengarahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi
rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi
informasi.
Perubahan
kurikulum atau metode pembelajaran yang terintegrasi
dengan Teknologi Informasi & Komunikasi dapat menjadi alternatif
menjembatani guru dan siswa untuk lebih ramah dan sehat memanfaatkan
teknologi.Namun pada kenyataannya, tidak selalu inovasi dapat diterima. Beberapa
kasus menunjukkan pelaksana inovasi cenderung resisten terhadap inovasi.
Ada
beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para
pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:
a)
Sekolah
atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan
pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap
oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang
tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi
sekolah mereka.
b)
Guru
ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang,
karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan
tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh
mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan
pikiran mereka Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap
mempertahankan sistem yang ada.
c)
Inovasi
yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas)
belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan
siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa
"mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to
the success of the innovatory program".
d)
Inovasi
yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan
kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta
inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau
kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak
sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak
para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
e)
Kekuatan
dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru
melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan
situasi sekolah mereka.
PENUTUP
Kesimpulan
Konsekuensi
adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai
hasil pengadopsian atau penolakan terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari
pengadopsian sebuah inovasi yaitu berupa invensi (pembaharuan) dan difusi
(perubahan) yang menjadi tujuan yang ingin dicapai. Ditinjau dari hasil inovasi
yang diperoleh atau yang tampak dalam sistem sosial, konsekuensi inovasi dapat
dibagi menjadi 3 macam, yaitu: Konsekuensi diharapkan dan tidak diharapkan,
Konsekuensi langsung dan tidak langsung dan Konsekuensi diantisipasi dan tidak
diantisipasi.
Salah
satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan adalah pemanfaatan sarana
teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Implikasi lain dari inovasi
teknologi adalah batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal
secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada amat banyak situs yang
menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah.
Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding ruang kelas. Proses
pembelajaran di dunia maya – yang kadang juga dimanfaatkan di segelintir
sekolah – tidak mengenal batasan formal dan nonformal. Beberapa situs
menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya,
ketika anak sudah bisa mengakses dunia maya, segala yang ada di situ akan bisa
diakses anak termasuk situs-situs yang tidak sesuai dan bisa merusak anak.
Padahal tidak banyak guru dan orang tua yang menguasai teknologi informasi
cukup baik atau tidak punya cukup waktu untuk bisa mendampingi anak dan memberi
pengarahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi
rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi
informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim. (1988) . Inovasi
Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti
Rogers, Everett M. (1983) . Diffusion
of innovations. New York: The Free Press.
Sa'ud, U. S.
(2010). Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar